Cari Blog Ini

Minggu, 27 Mei 2012

Cerpen Asal (ADIKKU SAYANG)


Malam musim panas, seorang pria bersandar pada sebuah pilar sambil menikmati langit musim panas yang cerah. Dengan sebatang rokok murahan di sela tanganya, asap mengepul bagaikan untaian kata dari sang pria “bosan!” mungkin itulah gumamannya. Pikirnya terburai oleh suara telepon di bawah.
“kriiiinggg!!!!”
“Hallo, dengan kediaman Wima disini”, sapanya kepada orang di sebrang sana.
“Hallo, saya Marsya. Betul ini rumah Pak Sapta Wima yang fotografer?”, sahut seorang gadis.
“Iya, ada perlu apa ya?”, Tanya Saga.
“Pak Sapta nya ada? Saya mau bicara dengan beliau”, sahut gadis itu.
“Owh, papa lagi pemotretan di studio. Ada yang mau disampaikan?”, jawab Saga.
“Eh, ini ka Sagara ya?”, pekik gadis itu.
“Iya, saya Sagara. Koq tau nama saya, ini siapa ya?”, pikir Saga keheranan.
“Aku Marsya, anak Pak Sapta juga dari mama Lelly”, ujarnya ceria.
“Hah, anak papa???”, sahut Saga bingung, “Maaf ni, jangan iseng ya. Anak papa ya cuma aku. Papa ga punya anak yang lain!”, bentak Saga.
“Kak Saga, jemput Marsya dong. Marsya udah nunggu dari siang di stasiun sampe malem ga ada yang jemput”, rengek Marsya.
“Eh, bebel banget ya dibilangin anak papa tuh cuma aku doang! Siapa sih nih iseng amat!”, bentak Saga emosi.
Lalu dengan gusar Saga menutup telepon, dan mengerutu.
“Gila kali ya, masa aku punya ade sih? Yang engga-engga aja deh. Jangan-jangan itu salah satu pacar gelap papa lagi, ah kacau ni papa!”, gerutu Saga.

“Yap, posenya Luna Oke banget. Matanya diisi ya sayang”, arah Sapta, “Sip banget!” imbuhnya puas.
“Sip-sip, thanks semua! Pemotretan hari ini selesai besok kita lanjut lagi!”, ujar sang manajer.
“Makasi, semua ya, para kru!”, sambung Sapta.
Tiba-tiba Sapta dikejutkan dengan bogem mentah dari Saga, tak ayal Sapta langsung tersungkur. Para Kru merelai Saga agar tidak memukul Sapta lagi. Sementara Sapta masih tersungkur dilantai studio.
“Dasar berngsek, om-om mesum!”, umpat Saga.
“Saga! Apa-apaan sih dateng-dateng maen pukul aja. Aku ini papa mu!” sergap Sapta.
“Ahh, papa macam apa lo! Ga puas lo telantarin gue sama mama?! Masih aja maen sama anak ABG!”, umpat Saga.
“Eh, papa kasih kamu kebebasan dalam berpendapat, bukan berarti kamu boleh kurang aja sama papa kamu sendiri Saga!”, ujar Sapta.
“Papa? Kurang ajar? Siapa, Pa? Aku?!”, imbuh Saga.
“Saga!”, Sapta membentak.
“Asal papa tau ya, barusan ke rumah ada yang telepon. Bilang kalo dia anak papa! Sandiwara apaan lagi Pa, yang lagi papa buat? Siapa itu Marsya, mama Lelly? Pacar papa yang mana, Pa?”, bentak Saga tak kalah keras.
“Marsya!! Mama Lelly!!”, pekik Sapta, “Dia bilang apa sama kamu, Ga?”, cemasnya.
“Owh, bener papa kenal mereka rupanya!”, tukas Saga sinis.
“Ga, papa mohon jangan bahas itu sekarang. Kamu tau dimana Marsya sekarang?”, cemas Sapta.
“ Dia di stasiun, papa mau jemput dia?!”, imbuhnya sinis.
“Ga, cepet ikut papa sekarang ke stasiun!”, ajak Sapta cemas.
“Ngapain Saga ikut jemput, siapa dia!”, elak Saga.
“Udah jangan bahas itu sekarang, kasian Marsya nunggu!”, tukas Sapta.
Tanpa basa-basi Sapta menyeret Saga bersamanya menuju mobilnya, mereka pun langsung menuju ke stasiun. Di sana Marsya menunggu dengan sabar, walupun lelah mulai melanda, apalagi langit tiba-tiba mendung dan turun hujan.
“Marsya!”, Sapta memanggil.
“Om Sapta!”, sahut Marsya.
“ Maaf kamu lama menunggu, saya tadi masih di studio. Jam berapa sampai Bandung?”, Sapta mencoba berbasa-basi.
“Engga apa-apa kok Om, Cuma nunggu dari siang aja,” ujarnya santai.
“Aduh, kasian. Sekali lagi maaf ya Om jemputnya telat,” ujarnya merasa bersalah.
“Iya, Marsya maafin,” balasnya dengan senyum tulusnya.
Sementara Saga sedang bergumam dalam hatinya, siapa gadis bernama Marsya ini. Tiba-tiba saja muncul saat musim panas ini. Mengaku sebagai anak papanya, yang otomatis berarti dia adalah adik tirinya. Tak habis pikir dirinya tentang gadis ini, papanya menyuruhnya berkenalan.
“Saga, kenalkan ini Marsya. Marsya, kenalkan ini Sagara anak Om,” ujar Sapta.
“Saga!” ucapnya singkat.
“Marsya Wima.” Balasnya dengan senyum manis.
“Apa? Marsya Wima? Kagak salah tuh pake nama belakang papaku?” pekiknya keras.
“Engga, kan tadi di telepon udah dibilangin aku anaknya Om Sapta juga dari mama Lelly,” jawabnya polos.
“Pa, apa-apaan ini! Jelasin sama Saga, Pa!” pekiknya tak percaya.
“Nanti papa jelasin, sekarang kamu bawa barang-barang dia masukan bagasi, kita pulang,” ujar Sapta.
Saga pun menyerobot tas Marsya dengan gusar, dan Sapta menggandeng Marsya dengan mesra ke dalam mobil dan menyuruhnya duduk di kursi depan di samping dirinya. Tambah gusar Saga melihat kelakar papanya yang kegatelan dan so’ gentleman itu.

“Mamaku Lellly Wima, adalah seorang novelist dari Surabaya. Beliau sudah banyak menciptakan banyak novel best seller. Karya terakhirnya adalah berjudul Marsya Wima, yaitu namaku. Aku heran kenapa mama kasih judul novelnya namaku. Belum sempat hilang penasaranku, mama sakit keras dan akhirnya meninggal. Di novel itu aku mendapati nama pria bernama Sapta Wima seorang fotografer di Bandung. Aku ingat sebelum mama meninggal, mama berpesan kalau mama tidak lagi ada disampingku, aku disuruh untuk mencari orang bernama Sapta Wima. Awalnya aku bingung kenapa harus mencari orang bernama Sapta Wima, saat setelah pemakaman mama aku menemukan diary mama, dan aku menemukan fakta bahwa Om Sapta itu papaku, itu juga alasan kenapa nama belakangku juga mama mengunakan nama belakang Wima,” papar Marsya sepanjang jalanan.
“Terus kalo udah ketemu sama orang yang namanya Sapta Wima, kamu mau apa?” Tanya Saga sinis.
“Aku mau tinggal sama Om Sapta,  karena aku udah ga punya siapa-siapa sekarang. Jangankan rumah atau warisan, kesini aja aku dikirimi tiket sama Om Sapta biar bisa ke Bandung,” jawab Marysa santai.
“Kamu udah gila ya, mau tinggal sama Om-om mesum ini! Pulang sana ke Surabaya, masa mama kamu ga punya keluarga?!” pekik Saga.
“Kok, kamu gitu sih sama Om Sapta, dia kan Papa kamu Kak Saga,” ujar Marsya menasehati.
“Ga, denger tuh kata-kata Marsya. Dia yang baru ketemu papa hari ini bisa loh ngehargain papa, kamu anak papa malah kurang ajar. Makasih ya Marsya, dia emang anak durhaka, jangan di tiru ya sayang,” ujar Sapta nakal.
“Hah, apanya yang harus dihargai, papa ninggalin Saga sama mama demi bisa senang-senang sam model-model papa. Terus sekarang ternyata papa punya anak dari perempuan lain, apa yang bisa dibanggain dari papa sih,” gerutunya.
“Ga, kamu masih belum bisa maafin papa. Padahal papa sekarang sedang mencoba menebus kesalahan papa sama kamu,” ujar Sapta lirih, “Maafin papa, Ga. Maafin Om juga ya Marsya,” imbuhnya.
Seketika di dalam mobil hening, kata-kata yang di utarakan Sapta begitu tulus. Saga yang tadinya berapi-api pun terdiam mendengar kesungguhan kata-kata papanya. Hanya rintik hujan yang terdengar di tengah malam musim panas itu.

Setibanya di rumah, Sapta mempersilahkan Marsya masuk ke kamar untuk berganti pakaian yang basah terkena hujan dan membawakan barang-barang bawaan Marsya.
“Silahkan masuk, anggap rumah sendiri ya Marsya. Maaf nih berantakan, maklum ga ada perempuan di rumah ini jadi ga ada yang beres-beres,” ujar Sapta.
“Ada kok cewe yang suka kesini, tapi cuma numpang tidur doang di kamar papa terus pulang pagi-pagi buta,” ledek Saga.
“Ga, kalo ga ada kerjaan kamu siapin teh gih buat Marsya daripada nyela papa. Kasian Marsya kedinginan dan cape,” elak Sapta.
“Suka-suka papa deh, siapa sih Saga di rumah ini,” gerutunya.
Saga ngeloyor pergi keluar rumah, sambil membanting pintu. Terdengar deru suara motor bututnya dan dia pun pergi dengan motor vespanya entah kemana.
“Om, Kak Saga mana?” tanya Marsya.
“Ga tau ya, Sya. Tadi om suruh bikin teh buat kamu dia malah ngeloyor pergi ga tau kemana,” sahut Sapta, dia menoleh dan melihat pemadangan tak biasa di depannya.
“Om kenapa? Kok kaya ngeliat hantu gitu sih liatin Marsya,” keluh Marsya.
“Engga apa-apa, Sya. Kamu cantik deh kaya mama kamu, mirip banget sama Lelly,” puji Sapta.
“Ah, Om bisa aja ni. Kan Marsya anak mama pasti mirip lah. Tapi… kalo sama Om, Marsya mirip apanya ya?” ujar Marsya imut.
Sapta hanya tersenyum tipis, pandangannya melayang ke 18 tahun lalu. Dilihatnya sosok Lelly pujaan hatinya, kini sosok itu kembali muncul dalam diri Marsya gadis 17 tahun yang manis dan imut. Sesaat dia lupa siapa yang di depanya.
“Lelly, kau sangat cantik,” ujarnya dalam lamunan.
“Om, kok manggil mama?” sahut Marsya kebingungan.
“Owh, maaf om jadi inget mama kamu dulu. Waktu kamu bayi juga pernah tinggal disini, kamu lucu sekali waktu bayi. Dalam gendongan mama kamu, kamu tidur lelap sekali,” kenangnya.
“Wah, jadi Marsya pernah tinggal disini ya Om waktu kecil,” ucapnya kegirangan.
Sapta mendekati Marsya dan membelai lembut rambut basah Marsya, dilihatnya lekat-lekat gadis itu. Tak disangkal dia sangat mirip dengan Lelly, rambut ikalnya, mata besarnya, bibir tipisnya, tulang pipi yang tegas. Tatapan Sapta tak biasa, tatapan yang penuh arti. Di dekatkan mukanya dengan muka Marsya hingga bertatapan, Sapta tak berkedip.
“Ngapain kalian!” seru Saga.
“Kak Saga!” seru Marsya, “Kak Saga darimana?”
“Ga usah so’ akrab ya. Papa barusan ngapain sama cewe ini?!” selidik Saga.
“Engga apa-apa, ya kan ,Sya,” liriknya kearah Marsya mencari pembenaran.
“Iya, Om cuma belai-belai rambut Marsya dan bilang Marsya mirip mama,”tutur Marsya.
“Pa, sekali lagi Saga Tanya ke papa, siapa cewe ini? Dia bukan anak papa kan, dia pacar gelap papa kan?” ucap Saga memojokan.
“Kak Saga kok gitu sih, Om kan Cuma belai-belai rambut Marsya aja, Kak. Wajar dong kan Om Sapta papanya Marsya,” bela Marsya.
“Iya nih Saga ada-ada aja, masa papa pacaran sama anaknya sendiri,” Sapta menguatkan alibinya.
“Ah dasar cewe bego, mana ada sih Papa yang liatin anak gadisnya dengan tatapan nanar gitu!” gerutu Saga kesal.
“Kak Saga ga boleh ngomong gitu tentang Om Sapta, Marsya ga pernah kenal papa Marsya dari kecil. Jadi Kakak ga boleh bilang hal jelek soal Papa kita,” rengek Marsya yang sudah mulai berkaca-kaca matanya.
“Akhirnya papa punya anak yang berbakti dan tidak durhaka, udah ya sayang jangan nangis. Saga emang kasar orangnya,” bujuk Sapta sambil merangkul Marsya.
Saga jengkel bukan kepalang melihat kelakuan papanya, papa punya anak lain selain Saga. Terus tiba-tiba muncul, mending kalo adiknya cowo bisa lah ditolerir. Ini yang datang anak perempuan manis, imut, ga percaya Saga. Terus sikap papanya yang aneh dan so’ care itu bikin Saga ga habis pikir. Sapta terus membujuk Marsya agar berhenti menangis, kesal dan gusar melihat sikap papanya Saga memilih keluar dari ruang tamu. Kembali di nyalakan rokok murahan sambil kembali menatap langit yang tidak lagi cerah. Lamunannya melayang, apa-apan nih tiba-tiba saja ada adik perempuan yang manis. Apa benar dia adik, aaahhh lamunan Saga melayang. Manis juga Marsya, rambut ikalnya, apalagi senyum tulusnya.

“hmmm, siapa ya pagi-pagi seperti ini sudah ramai di bawah? Apa om Sapta bertengkar lagi dengan kakak?” gumam Marsya.
Hiruk pikuk sudah terdengar di ruangan bawah, nampaknya bukan pertengkaran Saga dan Papanya. Owh, mengejutkan! Rupanya Saga sedang sibuk memasak sarapan pagi. Pemadangan yang mencolok, seorang pria usia 20-an awal sedang memasak, dan sang wanita mengintip dari pintu.
“Kakak, masak apa?” sahut Marsya manja.
“Eh udah bangun, lagi masak nasi goreng nih buat sarapan,” jawabnya.
“Nasi goreng? Marsya maunya bubur ayam, Ka,” rengeknya.
“Udah numpang, banyak maunya lo. Udah makan ni nasi goreng, sukur-sukur udah dibikinin sarapan,” gerutu Saga sambil menyodorkan sepiring nasi goreng.
“Makasih ya, Ka. Ternyata kakak baik ya,” bujuk Marsya manja.
“Maaf ya, soal semalam. Kamu jadi nangis gara-gara aku,” akunya.
“Hmmffttt, enak kak masakannya,” ucap Marsya bersemangat.
“Hee, makan pelan-pelan dong. Kaya orang ga makan seminggu aja,” keluh Saga.
“Marsya baru sekali ini makan masakan yang di buat orang rumah, mama ga pinter masak. Jadi aku sering makan diluar atau dilivery,” kenangnya.
Saga tersenyum tipis, lucu juga si Marsya ini pikirnya. Jadi ini pertama kalinya ada yang masakin makanan buat dia. Saga terus menatap Marsya, manis banget sih ni anak, ah apa yang dipikirnya.
“Pagi semua!” sapa Sapta.
“Pagi, Om!” sahut Marsya.
“Wah asik nih pagi-pagi sarapan nasi goreng, siapa yang masak?” ujar Sapta.
“Kakak, Om. Enak lho,” ujar Marsya.
“Wah, pinter kamu, Ga. Mana sini papa cobain,” kata Sapta.
“Udah abis, Saga buatnya cuma dua porsi,” ucapnya santai sambil melahap suapan terakhirnya.
“Ga, papa makan apa?” pekik Sapta.
“Bikin ndiri!” balas Saga.
“Ga, Saga! Keterlauan kamu ya, masa papa ga dibikinin  saparan!” teriak Sapta.
Saga seakan tak perduli dengan teriakan papanya Saga ngeloyor pergi, sambil memikul ranselnya dan keluar rumah dan pergi dengan vespa bututnya. Sapta kebingungan, mau makan apa dia, sementara Marsya tertawa kecil melihat kelakuan dua pria itu.
“Om, Marsya ikut om ke tempat kerja ya?” pintanya.
“Mau ikut? Boleh, nanti Om kenalkan sama kru studio dan model-model Om ya,” ajaknya.
“Asik, maksih ya Om,” kata Marsya kegirangan.

“Nah. Ini tempat kerja, om. Suka?” tanya Sapta.
“Wah asik ya, rame,” seru Marsya.
Tiba-tiba….
“Aiiihhh, siapa ini? Manisnya….,” seru salah seorang.
“Manis banget anak ini, siapa sih dia, Sap?” tanya seorang kru.
“Ini salah seorang anak kenalan aku di Surabaya,” jawab Sapta.
“Bukan! Aku anaknya!” seru Marsya ketus.
“Haaahh, anak?! Bukannya anakmu itu laki-laki Sapta?” seru seorang Kru.
“Ah, laki-laki perempuan sama saja,” Sapta mencoba mengalihkan.
“Manis banget deh! Tapi ga ada mirip-miripnya sama kamu, Sap,” cetus seorang model.

Sementara Marsya masih cemberut karena marah dianggap anak kenalannya Sapta. Karena tak mau ditanya terus menerus Sapta mencoba mengalihkan perhatian semua orang untuk kembali bekerja. Sapta pun menyuruh Marsya untuk melihat sekeliling. Tapi tak lama muncul orang yang tak diduga.
“Wah, adik ini manis sekali. Siapa namanya?” tanya seorang pria setengah baya.
“Terimakasih om, nama saya Marsya Wima,” jawab Marsya santun.
“Owh, putri dari Sapta ya? Kenalkan saya Wintoro,” balasnya.
“Iya om,” jawab Marsya.
“Lihat papanya kerja ya?” tanyanya lagi.
“Iya, kebetulan diajak. Jadi ikut deh sambil jalan-jalan juga. Soalnya ini pertama kalinya Marsya ke Bandung,” paparnya.
“Masa?! Emang kamu tinggal dimana, koq bisa baru sekarang ke Bandung?” selidiknya.
“Marsya tinggal sama mama di Su….,” ucap Marsya terpotong
“Sya!” seru Sapta dari jauh,
“Iya!” balasnya.
“Hai!” sapa Sapta dingin.
“Hai, lama tak jumpa. Apa kabar mu?” tanya Wintoro.
“Baik, bagaimana denganmu? Keluargamu baik?” jawab Sapta.
“Baik, kami baru pulang dari Riau. Ini putrimu? Cantik sekali, dia ada bakat jadi model,” ujarnya.
“Owh, terimaksih. Ada apa gerangan yang membuatmu datang kemari?” selidik Sapta.
“ Sedang mencari seorang model untuk perusahaan, kami mencari yang fresh dan tidak biasa,” jawabnya.
“Owh, kiranya kau sudah melihat-lihat. Ada yang pas dengan kriteriamu?” tanya Sapta.
“Belum, masih mencari-cari. Mungkin kau punya ide?” ujarnya.
“Owh, mungkin Nikita atau Putri. Apa mereka memenuhi keinginanmu?” tanya Sapta.
“Hmm, mereka sudah sering muncul di televisi. Aku mencari talent baru,” ujarnya.
“Baiklah, silahkan kau lihat-lihat dulu sambil berkeliling,” cetus Sapta.
“OK!” jawabnya singkat.

Pria bernama Wintoro itupun segera pergi, Sapta memandangnya dengan sinis. Iya, dia adalah pria yang pernah disukai Lelly, ibunya Marsya. Pikirnya apa yang bagus dari pria umur 40-an itu? Sudah tua, anaknya banyak, wanita yang jatuh dipelukannya juga sudah tak terhitung. Lebih Playboy dari dirinya sendiri. Sesaat dipandanginya Marsya dengan penuh rasa iba. Anak ini… andai dia…
“Mana ada orang tua memandang anak gadisnya seperti itu?” seru Saga.
“Eh saga! Ngagetin aja kamu,” kata Sapta terkaget-kaget.
“Ngapain papa ajak anak itu kemari?” tanya Saga.
“Biar dia ga bosen di rumah terus, kasian kan dia jauh-jauh dari Surabaya cuma bengong di rumah aja,” elak Sapta.
 (BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar