Malam musim
panas, seorang pria bersandar pada sebuah pilar sambil menikmati langit musim
panas yang cerah. Dengan sebatang rokok murahan di sela tanganya, asap mengepul
bagaikan untaian kata dari sang pria “bosan!” mungkin itulah gumamannya. Pikirnya
terburai oleh suara telepon di bawah.
“kriiiinggg!!!!”
“Hallo, dengan
kediaman Wima disini”, sapanya kepada orang di sebrang sana.
“Hallo, saya
Marsya. Betul ini rumah Pak Sapta Wima yang fotografer?”, sahut seorang gadis.
“Iya, ada perlu
apa ya?”, Tanya Saga.
“Pak Sapta nya
ada? Saya mau bicara dengan beliau”, sahut gadis itu.
“Owh, papa lagi
pemotretan di studio. Ada yang mau disampaikan?”, jawab Saga.
“Eh, ini ka
Sagara ya?”, pekik gadis itu.
“Iya, saya
Sagara. Koq tau nama saya, ini siapa ya?”, pikir Saga keheranan.
“Aku Marsya,
anak Pak Sapta juga dari mama Lelly”, ujarnya ceria.
“Hah, anak
papa???”, sahut Saga bingung, “Maaf ni, jangan iseng ya. Anak papa ya cuma aku.
Papa ga punya anak yang lain!”, bentak Saga.
“Kak Saga,
jemput Marsya dong. Marsya udah nunggu dari siang di stasiun sampe malem ga ada
yang jemput”, rengek Marsya.
“Eh, bebel
banget ya dibilangin anak papa tuh cuma aku doang! Siapa sih nih iseng amat!”,
bentak Saga emosi.
Lalu dengan
gusar Saga menutup telepon, dan mengerutu.
“Gila kali ya,
masa aku punya ade sih? Yang engga-engga aja deh. Jangan-jangan itu salah satu
pacar gelap papa lagi, ah kacau ni papa!”, gerutu Saga.
“Yap, posenya
Luna Oke banget. Matanya diisi ya sayang”, arah Sapta, “Sip banget!” imbuhnya
puas.
“Sip-sip, thanks
semua! Pemotretan hari ini selesai besok kita lanjut lagi!”, ujar sang manajer.
“Makasi, semua
ya, para kru!”, sambung Sapta.
Tiba-tiba Sapta
dikejutkan dengan bogem mentah dari Saga, tak ayal Sapta langsung tersungkur.
Para Kru merelai Saga agar tidak memukul Sapta lagi. Sementara Sapta masih
tersungkur dilantai studio.
“Dasar berngsek,
om-om mesum!”, umpat Saga.
“Saga! Apa-apaan
sih dateng-dateng maen pukul aja. Aku ini papa mu!” sergap Sapta.
“Ahh, papa macam
apa lo! Ga puas lo telantarin gue sama mama?! Masih aja maen sama anak ABG!”,
umpat Saga.
“Eh, papa kasih
kamu kebebasan dalam berpendapat, bukan berarti kamu boleh kurang aja sama papa
kamu sendiri Saga!”, ujar Sapta.
“Papa? Kurang
ajar? Siapa, Pa? Aku?!”, imbuh Saga.
“Saga!”, Sapta membentak.
“Asal papa tau
ya, barusan ke rumah ada yang telepon. Bilang kalo dia anak papa! Sandiwara
apaan lagi Pa, yang lagi papa buat? Siapa itu Marsya, mama Lelly? Pacar papa
yang mana, Pa?”, bentak Saga tak kalah keras.
“Marsya!! Mama
Lelly!!”, pekik Sapta, “Dia bilang apa sama kamu, Ga?”, cemasnya.
“Owh, bener papa
kenal mereka rupanya!”, tukas Saga sinis.
“Ga, papa mohon
jangan bahas itu sekarang. Kamu tau dimana Marsya sekarang?”, cemas Sapta.
“ Dia di
stasiun, papa mau jemput dia?!”, imbuhnya sinis.
“Ga, cepet ikut
papa sekarang ke stasiun!”, ajak Sapta cemas.
“Ngapain Saga
ikut jemput, siapa dia!”, elak Saga.
“Udah jangan
bahas itu sekarang, kasian Marsya nunggu!”, tukas Sapta.
Tanpa basa-basi
Sapta menyeret Saga bersamanya menuju mobilnya, mereka pun langsung menuju ke
stasiun. Di sana Marsya menunggu dengan sabar, walupun lelah mulai melanda,
apalagi langit tiba-tiba mendung dan turun hujan.
“Marsya!”, Sapta
memanggil.
“Om Sapta!”,
sahut Marsya.
“ Maaf kamu lama
menunggu, saya tadi masih di studio. Jam berapa sampai Bandung?”, Sapta mencoba
berbasa-basi.
“Engga apa-apa
kok Om, Cuma nunggu dari siang aja,” ujarnya santai.
“Aduh, kasian.
Sekali lagi maaf ya Om jemputnya telat,” ujarnya merasa bersalah.
“Iya, Marsya
maafin,” balasnya dengan senyum tulusnya.
Sementara Saga
sedang bergumam dalam hatinya, siapa gadis bernama Marsya ini. Tiba-tiba saja
muncul saat musim panas ini. Mengaku sebagai anak papanya, yang otomatis
berarti dia adalah adik tirinya. Tak habis pikir dirinya tentang gadis ini,
papanya menyuruhnya berkenalan.
“Saga, kenalkan
ini Marsya. Marsya, kenalkan ini Sagara anak Om,” ujar Sapta.
“Saga!” ucapnya
singkat.
“Marsya Wima.”
Balasnya dengan senyum manis.
“Apa? Marsya
Wima? Kagak salah tuh pake nama belakang papaku?” pekiknya keras.
“Engga, kan tadi
di telepon udah dibilangin aku anaknya Om Sapta juga dari mama Lelly,” jawabnya
polos.
“Pa, apa-apaan
ini! Jelasin sama Saga, Pa!” pekiknya tak percaya.
“Nanti papa
jelasin, sekarang kamu bawa barang-barang dia masukan bagasi, kita pulang,”
ujar Sapta.
Saga pun
menyerobot tas Marsya dengan gusar, dan Sapta menggandeng Marsya dengan mesra
ke dalam mobil dan menyuruhnya duduk di kursi depan di samping dirinya. Tambah
gusar Saga melihat kelakar papanya yang kegatelan dan so’ gentleman itu.
“Mamaku Lellly
Wima, adalah seorang novelist dari Surabaya. Beliau sudah banyak menciptakan
banyak novel best seller. Karya
terakhirnya adalah berjudul Marsya Wima, yaitu namaku. Aku heran kenapa mama
kasih judul novelnya namaku. Belum sempat hilang penasaranku, mama sakit keras
dan akhirnya meninggal. Di novel itu aku mendapati nama pria bernama Sapta Wima
seorang fotografer di Bandung. Aku ingat sebelum mama meninggal, mama berpesan
kalau mama tidak lagi ada disampingku, aku disuruh untuk mencari orang bernama
Sapta Wima. Awalnya aku bingung kenapa harus mencari orang bernama Sapta Wima,
saat setelah pemakaman mama aku menemukan diary mama, dan aku menemukan fakta
bahwa Om Sapta itu papaku, itu juga alasan kenapa nama belakangku juga mama
mengunakan nama belakang Wima,” papar Marsya sepanjang jalanan.
“Terus kalo udah
ketemu sama orang yang namanya Sapta Wima, kamu mau apa?” Tanya Saga sinis.
“Aku mau tinggal
sama Om Sapta, karena aku udah ga punya
siapa-siapa sekarang. Jangankan rumah atau warisan, kesini aja aku dikirimi
tiket sama Om Sapta biar bisa ke Bandung,” jawab Marysa santai.
“Kamu udah gila
ya, mau tinggal sama Om-om mesum ini! Pulang sana ke Surabaya, masa mama kamu
ga punya keluarga?!” pekik Saga.
“Kok, kamu gitu
sih sama Om Sapta, dia kan Papa kamu Kak Saga,” ujar Marsya menasehati.
“Ga, denger tuh
kata-kata Marsya. Dia yang baru ketemu papa hari ini bisa loh ngehargain papa,
kamu anak papa malah kurang ajar. Makasih ya Marsya, dia emang anak durhaka,
jangan di tiru ya sayang,” ujar Sapta nakal.
“Hah, apanya yang harus dihargai, papa
ninggalin Saga sama mama demi bisa senang-senang sam model-model papa. Terus
sekarang ternyata papa punya anak dari perempuan lain, apa yang bisa dibanggain
dari papa sih,” gerutunya.
“Ga, kamu masih belum bisa maafin papa.
Padahal papa sekarang sedang mencoba menebus kesalahan papa sama kamu,” ujar
Sapta lirih, “Maafin papa, Ga. Maafin Om juga ya Marsya,” imbuhnya.
Seketika di dalam mobil hening,
kata-kata yang di utarakan Sapta begitu tulus. Saga yang tadinya berapi-api pun
terdiam mendengar kesungguhan kata-kata papanya. Hanya rintik hujan yang
terdengar di tengah malam musim panas itu.
Setibanya di
rumah, Sapta mempersilahkan Marsya masuk ke kamar untuk berganti pakaian yang
basah terkena hujan dan membawakan barang-barang bawaan Marsya.
“Silahkan masuk,
anggap rumah sendiri ya Marsya. Maaf nih berantakan, maklum ga ada perempuan di
rumah ini jadi ga ada yang beres-beres,” ujar Sapta.
“Ada kok cewe
yang suka kesini, tapi cuma numpang tidur doang di kamar papa terus pulang
pagi-pagi buta,” ledek Saga.
“Ga, kalo ga ada
kerjaan kamu siapin teh gih buat Marsya daripada nyela papa. Kasian Marsya
kedinginan dan cape,” elak Sapta.
“Suka-suka papa
deh, siapa sih Saga di rumah ini,” gerutunya.
Saga ngeloyor
pergi keluar rumah, sambil membanting pintu. Terdengar deru suara motor
bututnya dan dia pun pergi dengan motor vespanya entah kemana.
“Om, Kak Saga
mana?” tanya Marsya.
“Ga tau ya, Sya.
Tadi om suruh bikin teh buat kamu dia malah ngeloyor pergi ga tau kemana,”
sahut Sapta, dia menoleh dan melihat pemadangan tak biasa di depannya.
“Om kenapa? Kok
kaya ngeliat hantu gitu sih liatin Marsya,” keluh Marsya.
“Engga apa-apa,
Sya. Kamu cantik deh kaya mama kamu, mirip banget sama Lelly,” puji Sapta.
“Ah, Om bisa aja
ni. Kan Marsya anak mama pasti mirip lah. Tapi… kalo sama Om, Marsya mirip
apanya ya?” ujar Marsya imut.
Sapta hanya
tersenyum tipis, pandangannya melayang ke 18 tahun lalu. Dilihatnya sosok Lelly
pujaan hatinya, kini sosok itu kembali muncul dalam diri Marsya gadis 17 tahun
yang manis dan imut. Sesaat dia lupa siapa yang di depanya.
“Lelly, kau
sangat cantik,” ujarnya dalam lamunan.
“Om, kok manggil
mama?” sahut Marsya kebingungan.
“Owh, maaf om
jadi inget mama kamu dulu. Waktu kamu bayi juga pernah tinggal disini, kamu lucu
sekali waktu bayi. Dalam gendongan mama kamu, kamu tidur lelap sekali,”
kenangnya.
“Wah, jadi
Marsya pernah tinggal disini ya Om waktu kecil,” ucapnya kegirangan.
Sapta mendekati
Marsya dan membelai lembut rambut basah Marsya, dilihatnya lekat-lekat gadis
itu. Tak disangkal dia sangat mirip dengan Lelly, rambut ikalnya, mata
besarnya, bibir tipisnya, tulang pipi yang tegas. Tatapan Sapta tak biasa,
tatapan yang penuh arti. Di dekatkan mukanya dengan muka Marsya hingga
bertatapan, Sapta tak berkedip.
“Ngapain
kalian!” seru Saga.
“Kak Saga!” seru
Marsya, “Kak Saga darimana?”
“Ga usah so’
akrab ya. Papa barusan ngapain sama cewe ini?!” selidik Saga.
“Engga apa-apa,
ya kan ,Sya,” liriknya kearah Marsya mencari pembenaran.
“Iya, Om cuma
belai-belai rambut Marsya dan bilang Marsya mirip mama,”tutur Marsya.
“Pa, sekali lagi
Saga Tanya ke papa, siapa cewe ini? Dia bukan anak papa kan, dia pacar gelap
papa kan?” ucap Saga memojokan.
“Kak Saga kok
gitu sih, Om kan Cuma belai-belai rambut Marsya aja, Kak. Wajar dong kan Om
Sapta papanya Marsya,” bela Marsya.
“Iya nih Saga
ada-ada aja, masa papa pacaran sama anaknya sendiri,” Sapta menguatkan
alibinya.
“Ah dasar cewe
bego, mana ada sih Papa yang liatin anak gadisnya dengan tatapan nanar gitu!”
gerutu Saga kesal.
“Kak Saga ga
boleh ngomong gitu tentang Om Sapta, Marsya ga pernah kenal papa Marsya dari
kecil. Jadi Kakak ga boleh bilang hal jelek soal Papa kita,” rengek Marsya yang
sudah mulai berkaca-kaca matanya.
“Akhirnya papa
punya anak yang berbakti dan tidak durhaka, udah ya sayang jangan nangis. Saga
emang kasar orangnya,” bujuk Sapta sambil merangkul Marsya.
Saga jengkel
bukan kepalang melihat kelakuan papanya, papa punya anak lain selain Saga.
Terus tiba-tiba muncul, mending kalo adiknya cowo bisa lah ditolerir. Ini yang
datang anak perempuan manis, imut, ga percaya Saga. Terus sikap papanya yang
aneh dan so’ care itu bikin Saga ga
habis pikir. Sapta terus membujuk Marsya agar berhenti menangis, kesal dan
gusar melihat sikap papanya Saga memilih keluar dari ruang tamu. Kembali di
nyalakan rokok murahan sambil kembali menatap langit yang tidak lagi cerah.
Lamunannya melayang, apa-apan nih tiba-tiba saja ada adik perempuan yang manis.
Apa benar dia adik, aaahhh lamunan Saga melayang. Manis juga Marsya, rambut
ikalnya, apalagi senyum tulusnya.
“hmmm, siapa ya
pagi-pagi seperti ini sudah ramai di bawah? Apa om Sapta bertengkar lagi dengan
kakak?” gumam Marsya.
Hiruk pikuk
sudah terdengar di ruangan bawah, nampaknya bukan pertengkaran Saga dan
Papanya. Owh, mengejutkan! Rupanya Saga sedang sibuk memasak sarapan pagi.
Pemadangan yang mencolok, seorang pria usia 20-an awal sedang memasak, dan sang
wanita mengintip dari pintu.
“Kakak, masak
apa?” sahut Marsya manja.
“Eh udah bangun,
lagi masak nasi goreng nih buat sarapan,” jawabnya.
“Nasi goreng? Marsya maunya bubur ayam,
Ka,” rengeknya.
“Udah numpang, banyak
maunya lo. Udah makan ni nasi goreng, sukur-sukur udah dibikinin sarapan,”
gerutu Saga sambil menyodorkan sepiring nasi goreng.
“Makasih ya, Ka. Ternyata
kakak baik ya,” bujuk Marsya manja.
“Maaf ya, soal semalam.
Kamu jadi nangis gara-gara aku,” akunya.
“Hmmffttt, enak kak
masakannya,” ucap Marsya bersemangat.
“Hee, makan pelan-pelan
dong. Kaya orang ga makan seminggu aja,” keluh Saga.
“Marsya baru sekali ini
makan masakan yang di buat orang rumah, mama ga pinter masak. Jadi aku sering
makan diluar atau dilivery,” kenangnya.
Saga tersenyum tipis, lucu
juga si Marsya ini pikirnya. Jadi ini pertama kalinya ada yang masakin makanan
buat dia. Saga terus menatap Marsya, manis banget sih ni anak, ah apa yang
dipikirnya.
“Pagi semua!” sapa Sapta.
“Pagi, Om!” sahut Marsya.
“Wah asik nih pagi-pagi
sarapan nasi goreng, siapa yang masak?” ujar Sapta.
“Kakak, Om. Enak lho,”
ujar Marsya.
“Wah, pinter kamu, Ga. Mana
sini papa cobain,” kata Sapta.
“Udah abis, Saga buatnya
cuma dua porsi,” ucapnya santai sambil melahap suapan terakhirnya.
“Ga, papa makan apa?”
pekik Sapta.
“Bikin ndiri!” balas Saga.
“Ga, Saga! Keterlauan kamu
ya, masa papa ga dibikinin saparan!”
teriak Sapta.
Saga seakan tak perduli
dengan teriakan papanya Saga ngeloyor pergi, sambil memikul ranselnya dan
keluar rumah dan pergi dengan vespa bututnya. Sapta kebingungan, mau makan apa
dia, sementara Marsya tertawa kecil melihat kelakuan dua pria itu.
“Om, Marsya ikut om ke
tempat kerja ya?” pintanya.
“Mau ikut? Boleh, nanti Om
kenalkan sama kru studio dan model-model Om ya,” ajaknya.
“Asik, maksih ya Om,” kata
Marsya kegirangan.
“Nah. Ini tempat kerja,
om. Suka?” tanya Sapta.
“Wah asik ya, rame,” seru
Marsya.
Tiba-tiba….
“Aiiihhh, siapa ini?
Manisnya….,” seru salah seorang.
“Manis banget anak ini,
siapa sih dia, Sap?” tanya seorang kru.
“Ini salah seorang anak
kenalan aku di Surabaya,” jawab Sapta.
“Bukan! Aku anaknya!” seru
Marsya ketus.
“Haaahh, anak?! Bukannya
anakmu itu laki-laki Sapta?” seru seorang Kru.
“Ah, laki-laki perempuan
sama saja,” Sapta mencoba mengalihkan.
“Manis banget deh! Tapi ga
ada mirip-miripnya sama kamu, Sap,” cetus seorang model.
Sementara Marsya masih
cemberut karena marah dianggap anak kenalannya Sapta. Karena tak mau ditanya
terus menerus Sapta mencoba mengalihkan perhatian semua orang untuk kembali
bekerja. Sapta pun menyuruh Marsya untuk melihat sekeliling. Tapi tak lama
muncul orang yang tak diduga.
“Wah, adik ini manis
sekali. Siapa namanya?” tanya seorang pria setengah baya.
“Terimakasih om, nama saya
Marsya Wima,” jawab Marsya santun.
“Owh, putri dari Sapta ya?
Kenalkan saya Wintoro,” balasnya.
“Iya om,” jawab Marsya.
“Lihat papanya kerja ya?”
tanyanya lagi.
“Iya, kebetulan diajak.
Jadi ikut deh sambil jalan-jalan juga. Soalnya ini pertama kalinya Marsya ke
Bandung,” paparnya.
“Masa?! Emang kamu tinggal
dimana, koq bisa baru sekarang ke Bandung?” selidiknya.
“Marsya tinggal sama mama
di Su….,” ucap Marsya terpotong
“Sya!” seru Sapta dari
jauh,
“Iya!” balasnya.
“Hai!” sapa Sapta dingin.
“Hai, lama tak jumpa. Apa
kabar mu?” tanya Wintoro.
“Baik, bagaimana denganmu?
Keluargamu baik?” jawab Sapta.
“Baik, kami baru pulang
dari Riau. Ini putrimu? Cantik sekali, dia ada bakat jadi model,” ujarnya.
“Owh, terimaksih. Ada apa
gerangan yang membuatmu datang kemari?” selidik Sapta.
“ Sedang mencari seorang
model untuk perusahaan, kami mencari yang fresh
dan tidak biasa,” jawabnya.
“Owh, kiranya kau sudah
melihat-lihat. Ada yang pas dengan kriteriamu?” tanya Sapta.
“Belum, masih
mencari-cari. Mungkin kau punya ide?” ujarnya.
“Owh, mungkin Nikita atau
Putri. Apa mereka memenuhi keinginanmu?” tanya Sapta.
“Hmm, mereka sudah sering
muncul di televisi. Aku mencari talent
baru,” ujarnya.
“Baiklah, silahkan kau
lihat-lihat dulu sambil berkeliling,” cetus Sapta.
“OK!” jawabnya singkat.
Pria bernama Wintoro
itupun segera pergi, Sapta memandangnya dengan sinis. Iya, dia adalah pria yang
pernah disukai Lelly, ibunya Marsya. Pikirnya apa yang bagus dari pria umur
40-an itu? Sudah tua, anaknya banyak, wanita yang jatuh dipelukannya juga sudah
tak terhitung. Lebih Playboy dari
dirinya sendiri. Sesaat dipandanginya Marsya dengan penuh rasa iba. Anak ini…
andai dia…
“Mana ada orang tua
memandang anak gadisnya seperti itu?” seru Saga.
“Eh saga! Ngagetin aja
kamu,” kata Sapta terkaget-kaget.
“Ngapain papa ajak anak
itu kemari?” tanya Saga.
“Biar dia ga bosen di
rumah terus, kasian kan dia jauh-jauh dari Surabaya cuma bengong di rumah aja,”
elak Sapta.
(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar